Cukup lama saya tidak menuliskan pengalaman untuk sekedar dibagi atau curhat pribadi. Akhirnya setelah malam ini saya dapat donasi pulsa buat "makanin" ini modem, plus ada waktu yang lumayan senggang, kerinduan untuk menulis terobati.
Begini, terhitung awal Juni 2014 lalu, saya dan teman-teman seangkatan (Magister Profesi Psikologi 2012 - genap), resmi menempuh masa PKPP 1. PKPP itu apa? Sebelum kamu makin pusing, sini saya jelasin.
***
Oke, PKPP itu singkatan dari Praktik Kerja Profesi Psikolog. Jadi kami (atau kamu) yang memilih program studi Magister Profesi Psikologi harus melalui tahap ini untuk melatih kita secara profesional dan mendasarkan pada bukti empiris serta Kode Etik Psikologi Indonesia (menurut logbook dari kampus saya). Berat amat yak? :D Secara gamblang, tahap ini harus dilewati biar kita bisa jadi psikolog yang terlatih. Ini buat memenuhi tuntutan keprofesian kita, nah baru kalo udah kelar tahap yang ini kita memenuhi tuntutan kemagisterannya. Jadi kalo anak-anak Mapro Psikologi itu kewajibannya ada dua, bikin laporan PKPP berupa pelaporan kasus-kasus yang ditangani sama bikin tesis.
Ujiannya? Berkali-kali sampe bosen! Itung aja deh, PKPP ini entar ada 3 kali (PKPP I, PKPP II, PKPP III). Setiap PKPP itu bakal ujian berupa case conference (CC) 2 kali; CC 1 itu ujian laporan dari asesmen sampe rancangan intervensi, dan CC 2 ngelaporin intervensi dan evaluasinya. Entar kalo udah, ada ujian nasionalnya sama HIMPSI - yang pengujinya itu disilang sama kampus lain. Kalo gak lulus gimana? Menurut keterangan kakak kelas saya, ya bisa aja ngulang dari awal alias dari PKPP I lagi! Keren gak ini? Sampe di sini udah pusing? Jujur, saya mulai
Itu belum urusan kemagisteran ya. Nah setelah lulus dari PKPP itu, barulah kita ngerjain tesisnya. Isunya sih kali ini tesis anak Mapro (atau mungkin Sains juga) gak cuma dibatasi harus eksperimentasi, tapi juga boleh
See? Saya sekalian klarifikasi deh. Kok saya S2-nya lama bingit? Ya karena proses di atas itu, Sodara. Paling cepet nih ya saya bisa lulus dalam 2,5 tahun. Itu udah kemungkinan paling cepet dan saya harus punya motivasi berprestasi sangat tinggi plus otak dan dompet super encer. Kenapa? Kapan-kapan saya jelasin :p . Tapi sejauh pengamatan saya, banyak kakak kelas yang udah bertahun-tahun kuliah S2 profesi sampe sekarang belum lulus, biarpun udah diuber-uber kampus pake pengumuman di segala penjuru kampus. Ada lho yang angkatan 2006 & 2007 sampe sekarang belum lulus. Nah lho, apa kabar saya ya? *thinking*
Sudah, lupakan.
***
Saya
Hari pertama, tiba-tiba kami
Hari kedua, kami menjelma jadi "pot bunga"-nya Poli Jiwa. Kami cuma diam, memandang pasien yang datang, lalu mencocokkannya dengan perkiraan kami berdasarkan keterangan di rekam medisnya. Pasien datang dan pergi, oh begitu saja... tanpa kami minta alamat dan kesediaannya untuk dikunjungi, yang kemudian kami sesali, karena selama tiga hari kami tetap begini, dan waktu itu pun jadi sia-sia banget. Kalo dalam sehari ada 10 pasien, tiga hari? Omaigat, 30 pasien "terbuang" begitu aja. Nah, karena kelalaian ini akhirnya pilihan klien yang akan diangkat kasusnya jadi berkurang dong. Pesen saya buat yang mau PKPP I abis ini, kejar semua pasien dulu, minimal dapet alamatnya, jangan dipilih-pilih dulu, karena entar buat nentuin kasus mana yang bisa diangkat akan ketahuan setelah kita visit mereka 1-2 kali.
Sejak hari itu, kami jadi "buas", hampir semua pasien kami kejar, kami minta kesediaannya untuk dikunjungi, terus minta alamatnya. Di minggu kedua kami habiskan dengan mengunjungi mereka satu persatu, BEREMPAT. Ternyata, kami salah strategi (lagi) dan parahnya, salah prosedural juga. Okesip. Ini yang sempet bikin saya gondok. Dari awal kami udah menanyakan - lebih tepatnya minta kejelasan soal visit pasien ini. Dan olala... Ternyata visit pasien itu hanya dibolehkan setelah jam di poli selesai. Sementara dalam pikiran kami, visit pasien itu diperbolehkan kapanpun, karena menurut beberapa sumber yang kami minta kejelasannya, visit pasien dihitung sebagai jam kerja di rumah sakit. Yaaa.. usut punya usut sih sepertinya ini berdasarkan pengalaman di angkatan-angkatan sebelumnya, di mana mereka kalo waktunya di rumah sakit ya di rumah sakit, setelah itu baru visit. Kenapa? Saya pikir sih biar total waktu PKPP-nya terpenuhi, jadi cepat selesai PKPP-nya. Okesip. Pesen saya untuk hal ini, visitlah kamu setelah jam poli selesai kalo kamu gak mau diomelin pembimbing, supervisor, dan kakak angkatanmu. Dan kegiatan visit berempat ternyata sangat gak efisien. Boros waktu, tenaga, dan transportasi. Maka, saya sarankan, kalo mau visit mending kelompoknya dibagi dua atau tiga gitu, kalo kamu ngerasa cukup sendiri ya sendirian aja, kalo kamu butuh temen, paling banyak berdua aja deh. Apalagi kalo kamu masih dalam tahap nyari alamat, ribet banget kalo kamu pake mobil, ato kalo kamu iring-iringan motor gitu, tunggu-tungguan dan kalo nyasar jadi gak efisien secara waktu dan tenaga.
Minggu ketiga dan keempat berjalan mulus. Kami ikut alurnya dengan baik, dapat tambahan stok pasien, mengunjungi pasien-pasien, mendengarkan cerita mereka, mengamati perilaku mereka, berdiskusi dengan supervisor, kakak angkatan, dan dosen, bla bla bla. Hingga tanpa terasa, hari terakhir nangkring di rumah sakit tiba. Gak ada pesan khusus, yang penting teteplah jadi anak yang baik dan menjunjung tinggi intelektualitas (?).
Minggu kelima PKPP I, saya dan Dona berkoalisi soal klien yang akan kami angkat kasusnya. Bukan apa-apa, ini hanya masalah fleksibilitas waktu dan transportasi plus berbagi
Dan hari ini, udah memasuki minggu keenam PKPP I kami. Laporan awal dengan data yang masih jauh dari kata cukup habis
Bayangkan, kami mendapat pelajaran tentang menerima dan menyayangi pasangan apa adanya, bagaimanapun keadaannya, dari pasien-pasien dengan depresi, skizoafektif dan skizofrenia. Mereka yang bisa menerima dirinya, menerima keadaan pasangannya, menyayanginya dengan tulus ikhlas, menerima keadaan hidup yang sangat sederhana, bahkan ada yang jauh dari kata berkecukupan. Kami jadi tersadar, bahwa selama ini kami masih sering mengeluh karena sakit kepala biasa, masih menjadi pasangan yang terlalu banyak menuntut, masih ngerasa apa yang kami punya selama ini belum cukup, bla bla bla. Jujur, saya pribadi ngerasa malu jadinya di hadapan mereka. Saya yang seperti ini sungguh sangat tidak bersyukur atas apa yang saya miliki sampai hari ini. Sangat berbeda dengan mereka yang begitu bijaksana memaknai hidup mereka yang apa adanya dengan segala dinamikanya.
Kami juga mendapat pelajaran dan bukti nyata bahwa kebahagiaan itu tak melulu soal harta dan kecukupan secara materi. Meskipun (maaf) rumah mereka tidak sebagus rumah orang lainnya, mereka tetap bisa bahagia. Biarpun baju mereka tidak sebagus baju orang lainnya, mereka tetap bisa tersenyum ringan. Walaupun hanya dengan uang 50 ribu rupiah saja untuk perjalanan Bantul-Magelang-Bantul, mereka tetap bisa menikmati makan siang dan penatnya perjalanan itu dengan lega. Sangat berbeda dengan kita, terutama saya. Saya masih sering mengeluh soal rumah yang segini sempitnya, yang gak ada halamannya. Saya masih sering minder kalo liat baju orang lain jauh lebih bagus daripada baju saya. Saya yang sangat sering mengeluhkan perjalanan dengan transportasi umum kelas ekonomi; tidak nyaman lah, ribet lah, bau lah, sumpek lah; yang kemudian mendorong saya untuk menggunakan kelas eksekutif yang jauh lebih mahal, padahal uangnya bisa saya gunakan untuk hal lain yang lebih berguna. Saya sungguh malu jika mendapati diri saya yang tidak lebih baik - bahkan lebih buruk - dibanding mereka.
Intinya hanya satu. Untuk menjadi manusia yang lebih baik, memang kita harus berdamai dengan diri kita sendiri. Dengan begitu kita akan bisa menerima diri kita apa adanya, begitupun dengan lingkungan di sekitar kita. Begitu kita bisa menerima semua ini, kita tak lagi mempersoalkan tentang rumah yang kita tinggali, baju yang kita kenakan, uang yang kita miliki, dan lain-lain, dan lain-lain. Semua kekurangan yang sudah kita "terima" akan mudah kita ikhlaskan, lalu kita ubah arahnya menjadi lebih realistis. Rumah sempit? Malah enak tho, gak capek nyapunya. Baju jelek? Ya gak apa-apa, malah gak takut kena debu di luar sana. Uangnya sedikit? Itung-itung belajar ngirit dan ekonomis. Makanannya makanan kampung? Malah enak dan sehat. Motor butut? Ya bagus, gak ada yang berniat nyuri. See?
***
Fabiayyiaa laaa i rabbikumaa tukadzdzibaani. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahman)
Buat apa bersusah-susah mengeluh dan berputus asa, sementara kenikmatan udah dikasih Tuhan di sekitar kita. Tinggal kitanya aja, ngeliat itu apa enggak, nerima itu apa enggak, ikhlas apa enggak.
Enam minggu di PKPP I memang belum cukup untuk menjadikan kami manusia yang lebih baik, yang diharapkan nantinya bisa membantu orang-orang di sekitar kami dengan pengetahuan dan kemampuan yang dilatih dalam proses ini. Mohon doa dari kalian semua, semoga semuanya dilancarkan dan dimudahkan Tuhan.
Salam :)