Pages

Welcome ^_^

Blog ini isinya kebanyakan curhat saya, bisa dibilang ini katarsis. Kalo ada yang merasa tulisan saya 'ngajak ribut', maafkan saya ya :)

Thursday, July 10, 2014

Berdamai dengan Diri Sendiri (2) - Catatan Singkat PKPP I

Salam 5 jari!

Cukup lama saya tidak menuliskan pengalaman untuk sekedar dibagi atau curhat pribadi. Akhirnya setelah malam ini saya dapat donasi pulsa buat "makanin" ini modem, plus ada waktu yang lumayan senggang, kerinduan untuk menulis terobati.

Begini, terhitung awal Juni 2014 lalu, saya dan teman-teman seangkatan (Magister Profesi Psikologi 2012 - genap), resmi menempuh masa PKPP 1. PKPP itu apa? Sebelum kamu makin pusing, sini saya jelasin.

***

Oke, PKPP itu singkatan dari Praktik Kerja Profesi Psikolog. Jadi kami (atau kamu) yang memilih program studi Magister Profesi Psikologi harus melalui tahap ini untuk melatih kita secara profesional dan mendasarkan pada bukti empiris serta Kode Etik Psikologi Indonesia (menurut logbook dari kampus saya). Berat amat yak? :D Secara gamblang, tahap ini harus dilewati biar kita bisa jadi psikolog yang terlatih. Ini buat memenuhi tuntutan keprofesian kita, nah baru kalo udah kelar tahap yang ini kita memenuhi tuntutan kemagisterannya. Jadi kalo anak-anak Mapro Psikologi itu kewajibannya ada dua, bikin laporan PKPP berupa pelaporan kasus-kasus yang ditangani sama bikin tesis.

Ujiannya? Berkali-kali sampe bosen! Itung aja deh, PKPP ini entar ada 3 kali (PKPP I, PKPP II, PKPP III). Setiap PKPP itu bakal ujian berupa case conference (CC) 2 kali; CC 1 itu ujian laporan dari asesmen sampe rancangan intervensi, dan CC 2 ngelaporin intervensi dan evaluasinya. Entar kalo udah, ada ujian nasionalnya sama HIMPSI - yang pengujinya itu disilang sama kampus lain. Kalo gak lulus gimana? Menurut keterangan kakak kelas saya, ya bisa aja ngulang dari awal alias dari PKPP I lagi! Keren gak ini? Sampe di sini udah pusing? Jujur, saya mulai gila berkunang-kunang.

Itu belum urusan kemagisteran ya. Nah setelah lulus dari PKPP itu, barulah kita ngerjain tesisnya. Isunya sih kali ini tesis anak Mapro (atau mungkin Sains juga) gak cuma dibatasi harus eksperimentasi, tapi juga boleh main ke mall penelitian kualitatif (atau apalah itu) atau validasi alat tes. Tapi saya gak tau juga akhirnya keputusannya gimana, ya kalo ternyata memang harus eksperimen mah, yaudahlah, dipikir karo turu wae :D .

See? Saya sekalian klarifikasi deh. Kok saya S2-nya lama bingit? Ya karena proses di atas itu, Sodara. Paling cepet nih ya saya bisa lulus dalam 2,5 tahun. Itu udah kemungkinan paling cepet dan saya harus punya motivasi berprestasi sangat tinggi plus otak dan dompet super encer. Kenapa? Kapan-kapan saya jelasin :p . Tapi sejauh pengamatan saya, banyak kakak kelas yang udah bertahun-tahun kuliah S2 profesi sampe sekarang belum lulus, biarpun udah diuber-uber kampus pake pengumuman di segala penjuru kampus. Ada lho yang angkatan 2006 & 2007 sampe sekarang belum lulus. Nah lho, apa kabar saya ya? *thinking*

Sudah, lupakan.

***

Saya milih dapat bagian kelompok bareng Dona, Mbak Dita, dan Bang Waldi. Kita dapat minta penempatan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Jadilah selama sebulan kami berempat nangkring manis di Poli Jiwa dengan supervisor dr.Vista. Jujur, di minggu pertama kami kelabakan. Bingung, karena kami gak tau apa-apa. Minta penjelasan dari sana-sini tentang gimana proses PKPP ini tetep aja belum menyembuhkan kebingungan kami.

Hari pertama, tiba-tiba kami dipaksa "digiring" ikut orientasi rumah sakit oleh bagian Diklit. Okesip, kami masuk telat, duduk di extra seats, di depan kelas pula, di hadapan ribuan *lebay* , ah puluhan perawat, bidan, fisioterapis, rekam medis, bla bla bla lainnya. Dan dengan cantiknya alaynya kami duduk di depan dengan senyum selalu terkembang sambil menguap lebar dan tangan sok rajin nulis berbagai hal (lumayan) penting. Lalu kami ikut tur seantero rumah sakit, dari ujung ke ujung, sampe betis berotot (ternyata ini rumah sakit gede juga, bukan, gede banget!), terus menyapa dr.Vista di ruangannya, lalu pulang. Catatan buat kamu yang mau PKPP I, hari pertama di RS kegiatannya berbeda-beda ya, sesuai dengan kebijakan dan aturan RS tersebut. Jadi pas masukin surat ke RS ato pas ngurus perijinan, TANYA dan minta keterangan SEJELAS mungkin. Jangan sampe oon bingung kayak kami ya..

Hari kedua, kami menjelma jadi "pot bunga"-nya Poli Jiwa. Kami cuma diam, memandang pasien yang datang, lalu mencocokkannya dengan perkiraan kami berdasarkan keterangan di rekam medisnya. Pasien datang dan pergi, oh begitu saja... tanpa kami minta alamat dan kesediaannya untuk dikunjungi, yang kemudian kami sesali, karena selama tiga hari kami tetap begini, dan waktu itu pun jadi sia-sia banget. Kalo dalam sehari ada 10 pasien, tiga hari? Omaigat, 30 pasien "terbuang" begitu aja. Nah, karena kelalaian ini akhirnya pilihan klien yang akan diangkat kasusnya jadi berkurang dong. Pesen saya buat yang mau PKPP I abis ini, kejar semua pasien dulu, minimal dapet alamatnya, jangan dipilih-pilih dulu, karena entar buat nentuin kasus mana yang bisa diangkat akan ketahuan setelah kita visit mereka 1-2 kali.

Sejak hari itu, kami jadi "buas", hampir semua pasien kami kejar, kami minta kesediaannya untuk dikunjungi, terus minta alamatnya. Di minggu kedua kami habiskan dengan mengunjungi mereka satu persatu, BEREMPAT. Ternyata, kami salah strategi (lagi) dan parahnya, salah prosedural juga. Okesip. Ini yang sempet bikin saya gondok. Dari awal kami udah menanyakan - lebih tepatnya minta kejelasan soal visit pasien ini. Dan olala... Ternyata visit pasien itu hanya dibolehkan setelah jam di poli selesai. Sementara dalam pikiran kami, visit pasien itu diperbolehkan kapanpun, karena menurut beberapa sumber yang kami minta kejelasannya, visit pasien dihitung sebagai jam kerja di rumah sakit. Yaaa.. usut punya usut sih sepertinya ini berdasarkan pengalaman di angkatan-angkatan sebelumnya, di mana mereka kalo waktunya di rumah sakit ya di rumah sakit, setelah itu baru visit. Kenapa? Saya pikir sih biar total waktu PKPP-nya terpenuhi, jadi cepat selesai PKPP-nya. Okesip. Pesen saya untuk hal ini, visitlah kamu setelah jam poli selesai kalo kamu gak mau diomelin pembimbing, supervisor, dan kakak angkatanmu. Dan kegiatan visit berempat ternyata sangat gak efisien. Boros waktu, tenaga, dan transportasi. Maka, saya sarankan, kalo mau visit mending kelompoknya dibagi dua atau tiga gitu, kalo kamu ngerasa cukup sendiri ya sendirian aja, kalo kamu butuh temen, paling banyak berdua aja deh. Apalagi kalo kamu masih dalam tahap nyari alamat, ribet banget kalo kamu pake mobil, ato kalo kamu iring-iringan motor gitu, tunggu-tungguan dan kalo nyasar jadi gak efisien secara waktu dan tenaga.

Minggu ketiga dan keempat berjalan mulus. Kami ikut alurnya dengan baik, dapat tambahan stok pasien, mengunjungi pasien-pasien, mendengarkan cerita mereka, mengamati perilaku mereka, berdiskusi dengan supervisor, kakak angkatan, dan dosen, bla bla bla. Hingga tanpa terasa, hari terakhir nangkring di rumah sakit tiba. Gak ada pesan khusus, yang penting teteplah jadi anak yang baik dan menjunjung tinggi intelektualitas (?).

Minggu kelima PKPP I, saya dan Dona berkoalisi soal klien yang akan kami angkat kasusnya. Bukan apa-apa, ini hanya masalah fleksibilitas waktu dan transportasi plus berbagi harta kemampuan. Kami akhirnya memilih masing-masing 1 klien laki-laki dan 1 klien perempuan. Untuk menggali informasi dari klien laki-laki tentu Dona punya kelebihan, begitu pula halnya pada klien perempuan, saya lebih mampu. Nah, dalam melakukan asesmen kita juga butuh informasi dari orang-orang di sekitar klien, ada yang laki-laki, ada yang perempuan. Bergantianlah kami menggali informasi tersebut. Ini jadi tips dari saya, dan juga dari kakak angkatan, buat kamu yang mau PKPP, berkoalisilah dengan teman sekelompokmu. Selain kamu bisa tukeran kemampuan, kamu juga bisa dapet masukan dan bantuan untuk melengkapi data asesmenmu.

Dan hari ini, udah memasuki minggu keenam PKPP I kami. Laporan awal dengan data yang masih jauh dari kata cukup habis disobek-sobek diobrak-abrik dosen pembimbing. Kami masih harus menggali data lebih dalam dan ini membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga yang luar biasa. And you know what? Selama enam minggu ini, tanpa kami minta, kami bisa dapat banyak hal inspiratif yang bisa memicu kami untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik. Dan percaya atau tidak, hal inspiratif tersebut ya kami dapatkan dari pasien yang kami kunjungi, yang notabene mereka selama ini dipandang miring karena mereka bermasalah dengan kejiwaannya.

Bayangkan, kami mendapat pelajaran tentang menerima dan menyayangi pasangan apa adanya, bagaimanapun keadaannya, dari pasien-pasien dengan depresi, skizoafektif dan skizofrenia. Mereka yang bisa menerima dirinya, menerima keadaan pasangannya, menyayanginya dengan tulus ikhlas, menerima keadaan hidup yang sangat sederhana, bahkan ada yang jauh dari kata berkecukupan. Kami jadi tersadar, bahwa selama ini kami masih sering mengeluh karena sakit kepala biasa, masih menjadi pasangan yang terlalu banyak menuntut, masih ngerasa apa yang kami punya selama ini belum cukup, bla bla bla. Jujur, saya pribadi ngerasa malu jadinya di hadapan mereka. Saya yang seperti ini sungguh sangat tidak bersyukur atas apa yang saya miliki sampai hari ini. Sangat berbeda dengan mereka yang begitu bijaksana memaknai hidup mereka yang apa adanya dengan segala dinamikanya.

Kami juga mendapat pelajaran dan bukti nyata bahwa kebahagiaan itu tak melulu soal harta dan kecukupan secara materi. Meskipun (maaf) rumah mereka tidak sebagus rumah orang lainnya, mereka tetap bisa bahagia. Biarpun baju mereka tidak sebagus baju orang lainnya, mereka tetap bisa tersenyum ringan. Walaupun hanya dengan uang 50 ribu rupiah saja untuk perjalanan Bantul-Magelang-Bantul, mereka tetap bisa menikmati makan siang dan penatnya perjalanan itu dengan lega. Sangat berbeda dengan kita, terutama saya. Saya masih sering mengeluh soal rumah yang segini sempitnya, yang gak ada halamannya. Saya masih sering minder kalo liat baju orang lain jauh lebih bagus daripada baju saya. Saya yang sangat sering mengeluhkan perjalanan dengan transportasi umum kelas ekonomi; tidak nyaman lah, ribet lah, bau lah, sumpek lah; yang kemudian mendorong saya untuk menggunakan kelas eksekutif yang jauh lebih mahal, padahal uangnya bisa saya gunakan untuk hal lain yang lebih berguna. Saya sungguh malu jika mendapati diri saya yang tidak lebih baik - bahkan lebih buruk - dibanding mereka.

Intinya hanya satu. Untuk menjadi manusia yang lebih baik, memang kita harus berdamai dengan diri kita sendiri. Dengan begitu kita akan bisa menerima diri kita apa adanya, begitupun dengan lingkungan di sekitar kita. Begitu kita bisa menerima semua ini, kita tak lagi mempersoalkan tentang rumah yang kita tinggali, baju yang kita kenakan, uang yang kita miliki, dan lain-lain, dan lain-lain. Semua kekurangan yang sudah kita "terima" akan mudah kita ikhlaskan, lalu kita ubah arahnya menjadi lebih realistis. Rumah sempit? Malah enak tho, gak capek nyapunya. Baju jelek? Ya gak apa-apa, malah gak takut kena debu di luar sana. Uangnya sedikit? Itung-itung belajar ngirit dan ekonomis. Makanannya makanan kampung? Malah enak dan sehat. Motor butut? Ya bagus, gak ada yang berniat nyuri. See?

***

Fabiayyiaa laaa i rabbikumaa tukadzdzibaani. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahman)

Buat apa bersusah-susah mengeluh dan berputus asa, sementara kenikmatan udah dikasih Tuhan di sekitar kita. Tinggal kitanya aja, ngeliat itu apa enggak, nerima itu apa enggak, ikhlas apa enggak.

Enam minggu di PKPP I memang belum cukup untuk menjadikan kami manusia yang lebih baik, yang diharapkan nantinya bisa membantu orang-orang di sekitar kami dengan pengetahuan dan kemampuan yang dilatih dalam proses ini. Mohon doa dari kalian semua, semoga semuanya dilancarkan dan dimudahkan Tuhan.

Salam :)

Monday, November 11, 2013

Menggunakan Harta dengan Bijak

Hai semua,

Lama gak nulis-nulis, sekalinya pengen nulis tapi gak tau mau nulis apa. Jadilah itu judul kesannya serius gitu. Uhuk.

Oke, fine. Kayaknya topik terhangat dalam hidup gw di minggu ini adalah pembagian harta warisan. Mungkin bagi beberapa orang tema ini rada gak pantes buat diperbincangkan apalagi digembar-gemborkan. Tapi, that's not the point. Gw cuma pengen berbagi biar gak lagi deh ada kejadian yang kayak gini.

Jadi gini, gw tiba-tiba aja dapet bagian warisannya Mbah Putri gw (dari pihak bokap) yang buat gw gak sedikit jumlahnya. Banyak banget, Bo'! Ya iya, secara duit gw di dompet paling banyak cuma Rp 500.000 saja, dan itu cuma bertahan sehari apa dua hari buat hura-hura beli buku. Eh tiba-tiba sekarang dapet duit segitu banyaknya. Buat apaaaa?

Nah, jadi pas ngumpul itu ada satu topik yang gw jadiin kepala besar rumpian kala itu, uangnya mau dipake buat apa. Tante dan Om gw ada yang memutuskan untuk bayar utang-utangnya yang masih numpuk. Mas gw mau buat ditabung, kali aja ada peluang investasi yang menggiurkan menguntungkan lagi. Ada juga yang mau beli barang-barang baru, seperti mobil baru motor baru, tipi baru, hape baru, baju baru... semua baru. Ya mungkin sudah bosen pake yang lama kali ya trus ganti semua yang baru. Sekalian aja ganti istri rumah baru gitu yak.

Ada salah satu Om gw yang disuruh beli mobil, biar kemana-mana gak kepanasan keujanan naik motor lagi. Tapi si Om ini menolak, bukan gak sanggup beli, tapi gak sanggup nyetir sendiri! Dan untuk ganti motor kayaknya beliau gak berminat, udah terlanjur sayang sama RX King jadulnya itu.

Sementara Pak Dhe gw udah punya daftar belanjaan Anggaran Belanja Rumah Tangga yang disusun kayaknya berdasarkan permintaan dari anggota keluarganya. Macem-macem, Bo'. Ya itu dia yang ganti semua baru. Tapi susahnya gini, tidak ada satupun dari rencana anggaran itu yang ditujukan buat pendidikan. Semuanya untuk kebutuhan sekunder yang menurut gw sendiri kurang penting. Gw gak tau kenapa, tapi gw bisa pahami alasan mereka apa.

Giliran gw yang ditanya mereka, duit segitu mau dikemanain, gw diem aja dan senyum. Mereka lalu nyaranin gw untuk beli motor baru, lebih tepatnya mengganti si Item dan si Putih dengan versi yang lebih baru. Gw cuma menggeleng dan bilang, "Mau buat bayar kuliah 3 semester ke depan" - yang memang cukupnya cuma buat 3 semester doang setelah gw itung-itung. Semuanya terus diem ngeliat lama ke gw. Berasa mereka gak yakin kalo gw gak butuh seneng-seneng menghamburkan duit.

Jujur, gw kadang juga pengen beli yang macem-macem karena kadang gw pikir gw juga butuh. Tapi setelah dipikir-pikirin lagi, ternyata gw belum butuh-butuh amat. Gw jauh lebih mikirin gimana nasib pendidikan gw dan adek gw, yang gak lucu kalo kita hentikan di tengah jalan karena uangnya habis buat foya-foya. Uang semesteran gw gak kecil, begitu juga dengan adek gw. Buat kuliah kami berdua bisa ngabisin sekitar 10 juta per semester. Belum lagi kalo gw ikut pelatihan kompetensi gitu, biayanya gak cuma ratusan ribu, tapi udah jutaan. Belum lagi buku-buku rujukan gw yang masih sangat belum lengkap. Belum lagi ntar kalo udah mulai praktek. Belum lagi.......


Ya, gw cuma gak abis pikir aja kenapa banyak orang yang suka menghamburkan duit dengan mudahnya. Padahal masih banyak kebutuhan primer mereka yang belum terpenuhi. Yang sekunder diduluin, yang tersier jadi prioritas utama malah. Kenapa? Buat prestise semata kah? Biar diliat orang sebagai orang kaya kah? Biar bisa dihormati dan disegani orang kah? Pada gak inget po kalo kita itu gak selamanya bisa di atas.

Makanya, mari kita menggunakan harta yang kita punya dengan bijak. Biasakan menunda keinginan gak jelas. Sebelum membeli pastikan kita butuh banget barang itu. Kalo belum butuh banget apalagi gak butuh ya jangan dibeli. Gak selamanya uang banyak itu bisa bertahan di kantong kita, begitu kita hamburkan untuk tujuan gak jelas ya bisa habis dalam sekejap mata aja itu uang.

Masih banyak loh orang-orang yang bener-bener gak punya uang buat memenuhi kebutuhan primernya, apalagi yang sekunder dan tersier. Apa kabarnya kalo kita yang jadi mereka? Biasa hidup mewah, enak, segala macam ada, tapi mendadak ada di bawah, apa ntar gak gila jadinya? Tapi ya gak apa-apa juga sih, ladang duit juga buat gw ini. Hahahaha

Tuesday, October 1, 2013

Bahagia itu Sederhana

Kadang-kadang mengajar itu tak lagi sekedar mengajarkan siswa, tapi kita juga berbagi rasa. Banyak guru yang tidak menyadari ini karena mereka terlalu terpaku pada target pencapaian proses belajar-mengajar itu. Buat saya memang gak terlalu berguna, karena materi yang saya ajarkan lebih bersifat aplikatif ketimbang teoritis. Target saya cuma 1, siswa saya bisa bermain musik dengan benar.

Tiba-tiba aja saya mendadak mellow. Kemarin di kelas II A, setelah mereka ulangan harian (setelah saya dituntut pihak sekolah karena gak kunjung punya nilai UH), saya ajak mereka bermain musik dengan sedotan. Banyak di antara mereka yang gak bawa sedotannya, mungkin lupa. Awalnya mereka gak mau berbagi dengan teman-temannya, saya pun gak tau kenapa mereka mulai pilih-pilih teman lagi. Lalu saya ajak mereka berbagi sampai mereka mau *sedikit maksa sih*, dan akhirnya semua siswa udah pegang 1 potongan sedotan.

Lalu mereka mencoba membunyikannya setelah saya potongin ujung sedotannya *gara-gara mereka gak bisa motong yang bener*, banyak yang gagal, Sodara! Lalu saya suruh teman-temannya yang sudah bisa membunyikannya, dan akhirnya mereka semua bisa!

Lalu saya ajak membunyikannya bersama-sama, mereka bisa semua, dan mereka tersenyum ringan, bahagia! Ini yang kemudian membuat saya bahagia. Saya hanya berbagi ilmu yang sedikit ini, tapi mereka bisa tersenyum dengan luar biasa. Mereka bahagia dengan aktivitas belajar hari itu, dan saya pun bahagia melihat mereka bahagia.

Baru kali ini setelah 3 bulan saya mengajar mereka, saya bisa merasakan kebahagiaan yang teramat sangat seperti ini. Langkah saya menjadi ringan dan saya bernyanyi-nyanyi kecil sambil berjalan. Meskipun kemarin jadwal saya penuh sampai jam 4 sore, tapi hati saya ringan. Saya mendapatkan kebahagiaan yang mereka bagi untuk saya.

Ya, kebahagiaan guru tak lagi dari capaian nilai tertulis para siswa, tapi dari pencapaian aplikatif mereka.

Bahagia itu sederhana. Kenapa harus dibikin rumit?