Pages

Welcome ^_^

Blog ini isinya kebanyakan curhat saya, bisa dibilang ini katarsis. Kalo ada yang merasa tulisan saya 'ngajak ribut', maafkan saya ya :)

Tuesday, November 23, 2010

Cancer

… Oh, my agony,
know that I will never marry,
Baby, I'm just soggy from the chemo
but counting down the days to go..
It just ain't living
And I just hope you know….
That if you say goodbye today
I’d ask you to be true
Coz the hardest part of this is leaving you…
(Cancer – My Chemical Romance)

Kita semua nggak akan pernah tahu kapan kita pergi dari dunia ini. Kita nggak pernah tahu kapan nyawa kita diambil lagi oleh Tuhan. Dan kita nggak pernah tahu kita ditakdirkan gimana. Seorang penderita penyakit nggak pernah berharap penyakit itu datang padanya. Salah satunya penderita kanker. Banyak orang yang menderita penyakit ini, and as we know, nggak ada satupun yang mau sakit kanker ini. Karena kecil kemungkinannya untuk bisa terbebas dari penyakit ini. Tapi itu semua udah takdir dan kita nggak bisa berpaling dari takdir itu.

Aku memang bukan penderita kanker. Tapi.... bapakku iya. Aku bisa ngerasain apa yang dirasain bapakku. Penderitaan beliau, sakit yang beliau rasakan, ketakutan dan kecemasan beliau... semuanya bisa aku rasakan. Aku tahu bapakku nggak pernah pengen menderita kanker. No one wanna get it. Tapi ini udah takdir. Udah takdirnya bapakku dikalahkan penyakit ganas nan mematikan itu. Ya... bapakku sudah kalah, lalu beliau tertidur dan tidak bisa bangun lagi....

Well... Bapakku menderita kanker beberapa tahun silam. Aku nggak inget tahun berapa itu... Begitu sulit untukku buat inget semuanya. Penyebab penyakit bapak itu pun aku nggak tahu pasti. Yang kutahu, kudengar dari ibuku salah satu penyebabnya dari makanan. Ternyata banyak banget makanan yang bisa memupuk bibit kanker itu. Aku nyesel denger itu semua, tapi apa hendak dikata, nasi udah jadi bubur....
Dalam masa sulit itu bapakku sempat dioperasi. Kanker yang ada di tubuh beliau diangkat. Kalo aku nggak salah kanker itu berada di saluran kencing bapak. Entah di ginjal, entah di...... Whatever. Yang kutahu hanya itu. Aku sengaja nggak mau tahu lebih jauh karena aku sudah diselimuti rasa takut dan cemas yang amat sangat. Lagipula saat itu aku berada di Jogja, dan bapak serta ibu dan adikku di Sumatera Barat. Salah-salah nanti aku stress, dan pastinya itu bisa memperburuk keadaan. Makanya aku hanya tahu ujung-ujungnya saja.

Kupikir setelah operasi itu bapak sudah aman dan sembuh dari kanker, karena setelah itu kondisi bapak mulai membaik. Tapi ternyata dugaanku salah! Aku yang waktu itu masih kelas 1 SMP jelas belum begitu mengerti. Hanya yang kudengar dari ibu, ternyata kanker itu sudah menjalar ke organ tubuh bapak yang lain dan ini sangat membahayakan buat bapak, karena kanker itu sudah merembet sampai ke.... hati! Aku pun memutuskan untuk pulang ke Sumbar, sesuai dengan permintaan beliau. Sepanjang hari aku berpikir, kalau hati nggak berfungsi dengan baik bisa membahayakan nyawa seseorang. Makanya aku sudah bersiap-siap menerima keadaan terburuk yang bakal terjadi pada bapak, karena kulihat semakin hari kondisi bapak makin lemah. Dan ternyata benar. Bapak pun pergi. Agaknya bapak sudah tahu akan kondisi beliau walaupun ibu dan dokter yang menangani beliau merahasiakannya. Makanya beliau pasrah sama Tuhan. Namun di balik itu kulihat dan kuingat bahwa: bapak amat tegar dan tabah menghadapi takdir beliau. Bapak nggak pernah menyesal dan melawan takdir beliau. Bapak nerima aja dengan penuh kesabaran yang beliau punya. Awalnya aku nggak yakin bapak sekuat itu. Namun lama-kelamaan aku ngerti, dibalik fisik yang lemah masih ada jiwa yang kuat.

Untung saja kanker itu hanya melumpuhkan kerja hati bapakku, bukan perasaan beliau. Karena kalau sampai itu terjadi, aku nggak mungkin mendapat pelajaran terakhir dari bapak. Semoga itu dihitung Tuhan juga sebagai ibadah beliau. Amiiin....

Beruntung aku punya ibu yang hebat, bahkan terhebat di dunia – menurutku, tentu saja. Ibuku sabar dan telaten merawat bapak saat bapak sakit. Ibuku selalu update hal apapun tentang kondisi bapak. Ibuku tegar dan tabah mengahdapi cobaan itu. Inilah yang bikin ibuku hebat. Beliau jadi lebih peduli pada orang lain. Ibuku tahu seluk-beluk suatu penyakit, contohnya kanker itu. Ibuku tahu penyebabnya, gejalanya, sampai cara mengatasinya. Ibuku tahu jenis-jenis obat dan kegunaannya. Tak hanya obat-obatan kimia, tapi juga dari bahan alami. Ibuku tahu harus berbuat apa dikala kita sakit. Ibuku nggak pernah malu untuk belajar lagi. Ibuku nggak malu bertanya pada yang lebih ahli demi menambah pengetahuannya. Makanya, semenjak bapak meninggal, aku yang awalnya tidak terlalu terbuka pada ibuku – aku selalu terbuka dan amat dekat dengan bapak – mulai mau jujur pada ibu tentang segala apa yang kurasa. Bagiku, ibuku dokter pribadiku, konsultan pribadiku, psikolog-ku, guruku, sahabatku, dan teman diskusiku. Tak heran aku jadi begitu akrab dengan ibu. Bisa dibilang beliau lebih dari sekedar ibuku... Dan tak bisa dipungkiri teman-temanku jadi iri padaku. Mereka ingin sekali punya orang tua seperti ibuku.. Alhamdulillah...

Kini, aku amat tertarik pada hal-hal mengenai kanker. Aku tidak takut lagi untuk mengenalinya lebih jauh. Aku selalu bertanya tentang apa yang tidak kumengerti dari sumber-sumber dan mendiskusikannya dengan ibuku. Aku memang nggak tahu apa yang bakal terjadi pada diriku besok, tapi.... well, aku nggak mau kena kanker. Yah... Setidaknya aku bisa menghindarinya selagi belum telat ini.

Dan kemarin siang, di tengah pasar, aku bertemu seorang remaja lelaki duduk tak berdaya di tengah jalan. Sambil mengangkat tangannya yang kurus sekali, ia memohon sedekah dari setiap orang yang lewat. Yang aku tak mengerti awalnya, sakit apa dia sebenarnya hingga ia seakan nggak punya tenaga? Kutatap ia dari kepalanya hingga berhenti tepat di... kakinya! Masya Allah... kasihan sekali anak ini... Kulihat kakinya tampak aneh dan lain dari kaki orang biasa. Kakinya membengkak! Memang hanya kaki kanannya, tapi sangat besar.... Masya Allah... Berkali-kali aku ‘ngucap, sambil memohon pada Tuhan:” Ya Allah... Tolonglah saudaraku ini.... Kasihan dia... “. Dan otakku langsung memunculkan satu kata yang membuatku merinding: kanker! Andai aku bisa berbuat lebih....

Aku berencana akan mendiskusikan hal ini pada ibuku besok, karena memang baru besok beliau pulang ke rumah. Jangan mikir yang macem-macem.... Ibuku memang sibuk banget. Kali ini beliau sedang mengikuti diklat pustakawan di Padang. Yap.... tepat sekali. Ibuku bekerja di perpustakaan umum daerah kotaku. Tak heran ibuku rajin membaca dan punya banyak ilmu. Didukung dengan rasa ingin tahu beliau yang kuat dan ketertarikan beliau pada hal-hal yang baru menjadikan beliau lebih pintar.
Saat ini umurku sudah hampir 17 tahun. Aku sudah makin dewasa dan aku sudah bisa mengontrol diriku lebih baik dibanding tahun-tahun lalu. Aku sudah mantap dengan apa yang kuambil saat ini. Walaupun di sekolah aku mengambil jurusan IPS, dan aku nggak bakal kuliah di kedokteran, aku akan tetap mempelajari tentang kesehatan lebih jauh, seperti ibuku. Terutama tentang..... kanker.

Solok, 071207

Ayah Juara Satu Sedunia

Ayah dengarlah.. Betapa sesungguhnya ku mencintaimu. Kan kubuktikan ku mampu penuhi maumu…

6 tahun semenjak kepergian bapak,
Aku berusia 19 tahun kini. Usia yang cukup rawan di masa perkembanganku, remaja akhir dan dewasa awal. Hidup sendiri di kota besar seperti ini terasa berat bagiku, walaupun tidak seberat dulu, 7 tahun lalu, saat aku “terasing” di kota ini. Begitu banyak godaan yang tak sanggup kulewati begitu saja, namun otakku masih cukup waras untuk tidak mudah terbujuk rayuan setan itu. Masih bisa kuingat Tuhan, hari akhir, kehidupan setelah di dunia, ibuku, adikku, dan…. bapak.

Kalau boleh kukutip kalimat Ikal dalam “Sang Pemimpi”, bapak adalah ayah juara satu sedunia. Kesabarannya, kegigihannya, cintanya yang besar pada kami keluarganya, keteguhannya, kekuatannya, benar-benar menginspirasiku dan mengajariku tentang bagaimana aku harus berbuat, walaupun tak secara langsung saat ini, walaupun aku harus mengingat-ingat semua yang beliau ajarkan itu. Beliau benar-benar bisa membuatku merasakan kekuatan dan ketabahannya saat beliau kesusahan. Beliau mampu membuatku merasakan kebahagiaannya saat beliau senang. Beliau benar-benar ayah terbaik sedunia, tak ada yang bisa menyangkalnya.

Sikap diam yang bapak miliki bukan tiada arti. Bapak diam bukan karena tak mengerti. Bapak diam bukan tak menghargai. Aku sangat mengagumi bapak dengan ‘diam’nya itu. Tenang, sabar, sopan, penuh penghargaan.. Apalagi diiringi senyum tulus yang tersungging di bibirnya. Walaupun tak berkata apapun, siapapun yang melihatnya bisa merasa lebih tenang dan berpikir, “Masalah ini sudah selesai”. Begitulah bapak. Tak begitu banyak bicara, tapi entah bagaimana beliau bisa mengatasi semuanya dengan baik.

Sampai saat ini masih bisa kuingat jelas detik-detik kepergian bapak. Seakan ingin mengajarkanku dan menghiburku dalam satu waktu sekaligus, bapak yang kala itu sudah ingin “pulang”, tetap berusaha tersenyum dan aku tahu itu amat susah baginya. Aku menyadari saat itu, bapak adalah pria tangguh, benar-benar tangguh. Hingga ajal menjemput, beliau masih tak ingin menyerah, beliau masih berusaha. Semangat hidupnya benar-benar kuat. Entah bagaimana lagi aku bisa menggambarkannya dengan tepat. Yang kutahu hanyalah, bapak benar-benar kuat dan hebat.

Aku benar-benar kehilangan figur bapak di hidupku setelah beliau pergi. Tak ada lagi orang yang bisa memanjakanku, mendengar keluh kesahku dengan sabar dan selalu tersenyum, mengajariku dengan sabar walaupun beliau tahu aku tidak cukup pintar, mengantarkan tidurku dengan dongeng-dongeng yang tak pernah bosan kudengar walaupun sudah ribuan kali kudengar, memelukku di saat aku mimpi buruk, menggendongku ketika aku tak bisa berjalan karena kakiku terkilir parah, memasak makanan yang aneh dan berbeda dari biasanya saat ibuku bertugas ke luar kota dalam waktu yang lama… Hidupku terasa hambar tanpa kehadiran bapak, apalagi menghadapi fakta bahwa.. aku belum sempat membuat bapak bangga.

Aku sering bermimpi bertemu bapak. Entah itu kenangan masa lalu, atau bapak yang tiba-tiba sehat walafiat. Tentu saja aku tidak menceritakan hal ini pada ibuku, karena aku tahu bukan hanya aku yang rindu bapak, jadi kalau aku ceritakan pada ibu, yang ada kami berdua sibuk menangis, karena saking rindunya kami pada sosok bapak yang gagah, kuat, dan hebat. Adikku juga sering sedih bila ingat bapak, aku tahu ia juga sangat rindu pada bapak, mengingat usianya yang masih sangat belia saat ditinggal bapak. Hingga kini, setiap menonton film yang bertema ayah, atau apapun yang menyinggung masalah ayah, bisa dipastikan aku langsung menangis, walau sebenarnya bagi orang normal itu masih tergolong biasa. Setiap habis bermimpi bertemu bapak, aku menangis tanpa henti. Menulis tentang bapak, seperti saat ini, air mataku terus menetes tak bisa kuhentikan. Melihat seorang ayah dengan anaknya, hatiku teriris, kenapa aku tidak bisa seperti mereka. Hidup di tengah orang yang kurang menghargai ayahnya, hatiku sakit sekali, kenapa mereka menyia-nyiakan orang yang berarti dan sangat berjasa dalam hidup mereka, apa mereka harus kehilangan ayah mereka terlebih dahulu, baru menyesali semuanya setelah itu, seperti yang kualami sekarang?

Begitu banyak orang yang menyayangi bapak. Tak hanya kami, keluarga kecilnya, tapi juga hampir seluruh keluarga besarnya. Begitu pula teman-teman beliau. Semuanya menghormati bapak. Terlihat jelas dari bagaimana cara mereka memperlakukanku, membantu keluargaku, menghiburku.. Masih bisa kuingat bagaimana Mbah Putri – ibu kandung bapak, memandangiku seksama saat aku bercerita tentang segala hal yang kualami, menciumku dengan penuh kasih sayang, memberiku semua yang kuingini, dan tak bisa kulupa, beliau menangis ketika memberiku wejangan saat sungkeman. Pak De – kakak bapak yang tertua, yang cukup terharu memandangi foto bapak, seakan kembali ke masa lalunya yang indah bersama bapak dulu, ketika aku bertanya bapak yang mana di foto itu. Bu Yati – adik perempuan bapak yang saat ini mengasuhku, tertawa lepas ketika ingat kenangan-kenangannya bersama bapak dulu. Atau teman-teman bapak yang selalu berkata, “Bapakmu orang yang baik. Baik sekali”. Tak sedikit pula yang berkata, “Kamu persis bapakmu”. Aku selalu terharu dan ingin menangis ketika berhadapan dengan mereka, tapi kutahan, aku tak mau mereka sedih, walaupun aku tahu, sedih sekali rasanya kehilangan orang yang kita sayangi dan betapa rindunya kita pada sosoknya.

Saat ini yang bisa kulakukan hanya terus berusaha, menjadi lebih baik, merangkai mimpi dan mewujudkannya, menjaga dan membahagiakan ibuku, seperti yang diinginkan bapak, begitu menurut Simbah, teman kepercayaan bapak. Aku tak ingin mengecewakan bapak, aku yakin bapak masih mengawasiku dan selalu bersamaku. Bapak selalu ada di hatiku. Takkan pernah habis rasa cinta ini, rasa sayang ini, dan sangat bangga, pada bapak, ayah terhebat dan terbaik sedunia.
Love you so Dad. You always stay in my heart.

Jogja, 21-22 Desember 2009