Ayah dengarlah.. Betapa sesungguhnya ku mencintaimu. Kan kubuktikan ku mampu penuhi maumu…
6 tahun semenjak kepergian bapak,
Aku berusia 19 tahun kini. Usia yang cukup rawan di masa perkembanganku, remaja akhir dan dewasa awal. Hidup sendiri di kota besar seperti ini terasa berat bagiku, walaupun tidak seberat dulu, 7 tahun lalu, saat aku “terasing” di kota ini. Begitu banyak godaan yang tak sanggup kulewati begitu saja, namun otakku masih cukup waras untuk tidak mudah terbujuk rayuan setan itu. Masih bisa kuingat Tuhan, hari akhir, kehidupan setelah di dunia, ibuku, adikku, dan…. bapak.
Kalau boleh kukutip kalimat Ikal dalam “Sang Pemimpi”, bapak adalah ayah juara satu sedunia. Kesabarannya, kegigihannya, cintanya yang besar pada kami keluarganya, keteguhannya, kekuatannya, benar-benar menginspirasiku dan mengajariku tentang bagaimana aku harus berbuat, walaupun tak secara langsung saat ini, walaupun aku harus mengingat-ingat semua yang beliau ajarkan itu. Beliau benar-benar bisa membuatku merasakan kekuatan dan ketabahannya saat beliau kesusahan. Beliau mampu membuatku merasakan kebahagiaannya saat beliau senang. Beliau benar-benar ayah terbaik sedunia, tak ada yang bisa menyangkalnya.
Sikap diam yang bapak miliki bukan tiada arti. Bapak diam bukan karena tak mengerti. Bapak diam bukan tak menghargai. Aku sangat mengagumi bapak dengan ‘diam’nya itu. Tenang, sabar, sopan, penuh penghargaan.. Apalagi diiringi senyum tulus yang tersungging di bibirnya. Walaupun tak berkata apapun, siapapun yang melihatnya bisa merasa lebih tenang dan berpikir, “Masalah ini sudah selesai”. Begitulah bapak. Tak begitu banyak bicara, tapi entah bagaimana beliau bisa mengatasi semuanya dengan baik.
Sampai saat ini masih bisa kuingat jelas detik-detik kepergian bapak. Seakan ingin mengajarkanku dan menghiburku dalam satu waktu sekaligus, bapak yang kala itu sudah ingin “pulang”, tetap berusaha tersenyum dan aku tahu itu amat susah baginya. Aku menyadari saat itu, bapak adalah pria tangguh, benar-benar tangguh. Hingga ajal menjemput, beliau masih tak ingin menyerah, beliau masih berusaha. Semangat hidupnya benar-benar kuat. Entah bagaimana lagi aku bisa menggambarkannya dengan tepat. Yang kutahu hanyalah, bapak benar-benar kuat dan hebat.
Aku benar-benar kehilangan figur bapak di hidupku setelah beliau pergi. Tak ada lagi orang yang bisa memanjakanku, mendengar keluh kesahku dengan sabar dan selalu tersenyum, mengajariku dengan sabar walaupun beliau tahu aku tidak cukup pintar, mengantarkan tidurku dengan dongeng-dongeng yang tak pernah bosan kudengar walaupun sudah ribuan kali kudengar, memelukku di saat aku mimpi buruk, menggendongku ketika aku tak bisa berjalan karena kakiku terkilir parah, memasak makanan yang aneh dan berbeda dari biasanya saat ibuku bertugas ke luar kota dalam waktu yang lama… Hidupku terasa hambar tanpa kehadiran bapak, apalagi menghadapi fakta bahwa.. aku belum sempat membuat bapak bangga.
Aku sering bermimpi bertemu bapak. Entah itu kenangan masa lalu, atau bapak yang tiba-tiba sehat walafiat. Tentu saja aku tidak menceritakan hal ini pada ibuku, karena aku tahu bukan hanya aku yang rindu bapak, jadi kalau aku ceritakan pada ibu, yang ada kami berdua sibuk menangis, karena saking rindunya kami pada sosok bapak yang gagah, kuat, dan hebat. Adikku juga sering sedih bila ingat bapak, aku tahu ia juga sangat rindu pada bapak, mengingat usianya yang masih sangat belia saat ditinggal bapak. Hingga kini, setiap menonton film yang bertema ayah, atau apapun yang menyinggung masalah ayah, bisa dipastikan aku langsung menangis, walau sebenarnya bagi orang normal itu masih tergolong biasa. Setiap habis bermimpi bertemu bapak, aku menangis tanpa henti. Menulis tentang bapak, seperti saat ini, air mataku terus menetes tak bisa kuhentikan. Melihat seorang ayah dengan anaknya, hatiku teriris, kenapa aku tidak bisa seperti mereka. Hidup di tengah orang yang kurang menghargai ayahnya, hatiku sakit sekali, kenapa mereka menyia-nyiakan orang yang berarti dan sangat berjasa dalam hidup mereka, apa mereka harus kehilangan ayah mereka terlebih dahulu, baru menyesali semuanya setelah itu, seperti yang kualami sekarang?
Begitu banyak orang yang menyayangi bapak. Tak hanya kami, keluarga kecilnya, tapi juga hampir seluruh keluarga besarnya. Begitu pula teman-teman beliau. Semuanya menghormati bapak. Terlihat jelas dari bagaimana cara mereka memperlakukanku, membantu keluargaku, menghiburku.. Masih bisa kuingat bagaimana Mbah Putri – ibu kandung bapak, memandangiku seksama saat aku bercerita tentang segala hal yang kualami, menciumku dengan penuh kasih sayang, memberiku semua yang kuingini, dan tak bisa kulupa, beliau menangis ketika memberiku wejangan saat sungkeman. Pak De – kakak bapak yang tertua, yang cukup terharu memandangi foto bapak, seakan kembali ke masa lalunya yang indah bersama bapak dulu, ketika aku bertanya bapak yang mana di foto itu. Bu Yati – adik perempuan bapak yang saat ini mengasuhku, tertawa lepas ketika ingat kenangan-kenangannya bersama bapak dulu. Atau teman-teman bapak yang selalu berkata, “Bapakmu orang yang baik. Baik sekali”. Tak sedikit pula yang berkata, “Kamu persis bapakmu”. Aku selalu terharu dan ingin menangis ketika berhadapan dengan mereka, tapi kutahan, aku tak mau mereka sedih, walaupun aku tahu, sedih sekali rasanya kehilangan orang yang kita sayangi dan betapa rindunya kita pada sosoknya.
Saat ini yang bisa kulakukan hanya terus berusaha, menjadi lebih baik, merangkai mimpi dan mewujudkannya, menjaga dan membahagiakan ibuku, seperti yang diinginkan bapak, begitu menurut Simbah, teman kepercayaan bapak. Aku tak ingin mengecewakan bapak, aku yakin bapak masih mengawasiku dan selalu bersamaku. Bapak selalu ada di hatiku. Takkan pernah habis rasa cinta ini, rasa sayang ini, dan sangat bangga, pada bapak, ayah terhebat dan terbaik sedunia.
Love you so Dad. You always stay in my heart.
Jogja, 21-22 Desember 2009
No comments:
Post a Comment
uneg-uneg